Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut, “Setiap
amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan
sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa
tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan
dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang
berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia
berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau
mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak
kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun puasa sunnah adalah amalan yang
dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah
dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah
sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan
memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar,
memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi
petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
Pada kesempatan kali ini, Buletin At Tauhid mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbagai
amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka
jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan). Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
Puasa Daud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa
yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang
paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh
malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya.
Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak
merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini
sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu
pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu
agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang
mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas,
maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”[3]
Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang
lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no.
1970 dan Muslim no. 1156). Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada
mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[4]) sebagaimana diterangkan
oleh Az Zain ibnul Munir.[5] Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[6]
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal
sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan
Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan
Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At
Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih).
Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja,
tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa
shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[7] Di
antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’
(10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[8], …” (HR. Abu Daud
no. 2437. Shahih).
Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah?
Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu
dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan
puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa
setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang
yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu
‘Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu,
beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat
wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[9]
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan
pada tanggal 10 Muharram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad
di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian,
namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram).
Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh
Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk
melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari
ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau
mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama:
Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum
dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda
dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada
suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya,
“Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau
berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi
pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah
diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan
keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi
pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab:
Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu
zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa
sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua:
Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah
hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang
ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan
puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad,
Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy
Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa
tersebut.[10]
Ketiga:
Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya
kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak
terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama
Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib
ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut
terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa
wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[11] Beliau rahimahullah
menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh
berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin
bisa bersenang-senang dengannya.”[12]
Semoga Allah beri taufik untuk beramal sholih.
0 Komentar